post-icon-article

360 Culture Lab/Article

RUMAH YANG TERLUPAKAN

Aquel Hogar Olvidado

THAT FORGOTTEN HOME

Apa arti rumah? Tentunya akan ada banyak jawaban, tergantung pada siapa kita bertanya. Contohnya, untuk seseorang yang masih muda, ia mungkin akan mengaitkannya dengan rumah pertamanya, tempat ia tinggal bersama keluarganya. Di kemudian hari, ia mungkin akan menghubungkannya dengan rumah yang dibangun bersama pasangan hidupnya. Selain itu, orang yang sama mungkin mempunyai konsep ketiga, di mana ia menautkan rumah dengan tempat di mana ia berada, atau mungkin tempat di mana ia berangan untuk tinggal.   

Anak muda mungkin membayangkan rumah sebagai sebuah proyek yang terus-menerus diperbarui, sebuah jalan yang dibangun dan dilalui sepanjang hidup. Tetapi, apakah yang dirasakan oleh anak muda yang bermigrasi, ketika mereka harus meninggalkan tempat lahir mereka, rumah pertama mereka, semua yang akrab dan dekat?

Waktu kita berpikir tentang rumah, biasanya pikiran yang pertama muncul adalah orang-orang yang tinggal di sana, orang-orang yang sangat kita cintai, bukan? Tetapi, bagaimana kalau mereka ditinggal jauh, dan tidak lagi berada di hidup kita? Bagi banyak orang yang pindah dari tanah airnya, menjawab pertanyaan ini merupakan hal yang menyakitkan, membuat darah terasa beku, berlinang air mata, dan menggetarkan suara, ketika berusaha untuk menjawab. 

Apakah arti rumah? Aku sudah menanyakan pertanyaan ini setelah begitu lama berpikir di dalam kesunyian. Tiga konsep muncul dalam benakku:

  1. Rumah tentunya bukan hanya sebuah gedung, tetapi juga suatu tempat yang nyaman dan menghibur rohani.
  2. Rumah merupakan tempat di mana impian dan para pemimpi, dilindungi dan aman. 
  3. Rumah adalah, bisa jadi, mesin kebahagiaan. 

Dalam memikirkan konsep-konsep tersebut, pikiranku mengembara ke pengalamanku sendiri di tanah air, dan ke rumah yang melindungiku bertahun-tahun, di mana anak-anakku dilahirkan, di mana kami sedikit demi sedikit bertumbuh sebagai individu-individu dan sebagai sebuah keluarga. Apa yang rumahku pikir tentang kami, setelah begitu banyaknya kehilangan dan kehampaan?

Tentunya, rumah kami akan mengingat hari terakhir kami di sana, rasa takut untuk sekedar berada di sana, dan juga rasa bimbang yang lebih besar untuk memutuskan pindah – bukan hanya meninggalkan rumah, tapi meninggalkan tanah air, tempat pulang kami. Sebuah langkah yang sangat sulit. Rumah kami itu pasti mengingat pelukan-pelukan keluarga besar dan teman-teman dekat kami yang datang mengucapkan selamat jalan – sejujurnya hanya sedikit yang datang, karena melarikan diri dari rumah, dari negara kami, bukanlah suatu berita yang ingin disebarluaskan. 

Aku rasa rumah kami tidak pernah mengerti mengapa kami pergi, walaupun ia melihat semua kengerian yang kami alami di hari anak bungsu kami ditembak, ia melihat bagaimana menakutkannya perasaan terintimidasi, dan dituduh karena tidak mempunyai pendapat yang sama dengan “mayoritas”. Keputusan berani kami untuk pergi – dan itu memang keputusan yang berani – termotivasi oleh keinginan untuk mencapai mimpi indah yang awalnya adalah mimpi yang buruk, di mana kami tiba-tiba harus mulai dari awal, untuk membangun semuanya kembali. Tetapi sebenarnya, ini semua adalah usaha untuk kembali hidup, kelihatannya kita harus mati untuk hidup lagi. 

Ada juga perkataan bahwa ke mana kita pergi sebagai keluarga, rumah juga pergi bersama kita. Tapi, entah bagaimana, ini terasa tidak benar. Kami sangat mensyukuri dapat keluar dari segala kengerian yang dialami, dan rasa itulah yang membuat negara baru dan gedung baru yang kami tinggali, kami sebut sebagai rumah.  Ini adalah sesuatu yang kami lakukan untuk tidak merasa kehilangan akar, depresi, dan kesepian. Kerinduan menjeratku di dalam dinding-dinding sebuah gedung yang belum terasa menjadi rumah. Kerinduan itu menyiksaku dengan kenangan-kenangan dan selalu membawaku kembali, tidak memperbolehkanku untuk melihat kehidupanku sekarang, dan aku hanya bertahan karena aku punya harapan di masa depan. 

Hari demi hari, secara sadar dan tidak sadar, aku terus membandingkan semua yang aku lihat, semua aroma dan rasa yang berbeda, sensasi-sensasi yang sebelumnya tidak kurasa dengan jelas. Begitu banyak hal yang tadinya hanya bagian dari hidup dan kehidupan – bagian dari rumah – dan sampai juga hal-hal yang tadinya terasa membosankan – betapa rindunya aku pada semua itu. Inilah cara kerinduan merebut semua, sedikit demi sedikit. 

Aku pernah bahagia dan tak menyadarinya; aku ingin merasakan kebahagiaan itu lagi tetapi aku tidak tahu caranya. Aku yakin rumah kami yang dulu, yang kosong dan ditinggalkan, dapat memahami kepergian kami di bulan Desember itu. 

Hari ini aku menanyakan pertanyaan yang sama pada diriku lagi, “Apa arti rumah?” dan rasa nyeri itu kembali menusuk dada. Ada sebuah perkataan bahwa “Seseorang yang mengenal sakit, memahami semua.” Ada sebuah momen di kehidupan seorang imigran saat dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan rasa sakit yang begitu dalam dan dialami setiap hari; namun rasa sakit itu sendiri yang akhirnya mengajarkan kita bagaimana untuk bangkit dan hidup lagi. 

Suatu hari saat menyadari bahwa masa depan sudah berlalu, kamu terus bertanya-tanya apakah hidup yang dilalui memang sepadan. Suatu hari, anak-anak keturunanmu akan berkata, “Sepertinya kakek nenekku berasal dari negara lain,” tanpa menyadari jerih payah dan luka yang dilalui para moyang untuk membangun fondasi rumah baru, masa depan baru. Mereka tidak akan pernah menanyakan diri sendiri apa yang dulu dilakukan oleh kakek dan nenek mereka memang sepadan, karena jawabannya akan sudah terasa sangat asing; semua orang akan sudah membangun rumahnya di atas akar rumah yang terlupakan itu.

¿Qué es el hogar?, seguramente encontraremos un grupo de variadas ideas de acuerdo a quien se le pregunte, por ejemplo, si contestara un joven, seguramente la vincularía con la idea de aquel primer hogar junto a sus familias, luego del que construirá junto a su pareja, un tercero se relacionaría con el sitio en el que están e incluso con el lugar en el que sueñan estar. 

Los jóvenes conciben el hogar como un proyecto que continuamente se actualiza. Algo así como un camino que van completando a lo largo de sus vidas. ¿Qué sentirán, entonces, esos jóvenes migrantes que han tenido que dejar su sitio de nacimiento, con todo lo cotidiano y cercano sobre esto? 

Cuando pensamos en nuestro hogar, lo primero que nos viene a la mente son las personas que en ella habitan y que más queremos. ¿No es así? Pero si ellos también quedaran atrás, lejanos, distantes, ausentes…

la pregunta anterior en una situación de presencia, de cercanía, responderla, no se convertiría en un acto doloroso, no helara la sangre, no llenará los ojos de lágrimas, no quebrara la voz impidiendo que las palabras salieran fluidas. 

¿Qué es un hogar?, me he preguntado después de tanto silencio. Se me vienen en tres posibles conceptos:

  1. a) El hogar no es solo un bien inmobiliario, es también una forma de consolidación espiritual; 
  2. b) Un lugar que protege a los soñadores, y 
  3. c) el hogar es una máquina para vivir; debe ser el estuche de la vida: la máquina de la felicidad. Pero también es un lugar donde se espera, y no solo eso, ¿un lugar que espera, y si algo le falta comienza a derrumbarse y me asalta una duda, ¿cómo estará mi casa?, esa que me dio cobijo por tantos años, en donde nacieron mis hijos, donde poco a poco crecimos todos como familia y como individuos… ¿Que pensara mi hogar luego de tantas ausencias, de tantas lunas, de tanto vacío?

Seguro recordará el último día que allí estuvimos, nuestro miedo de estar allí y miedo por lo que venía emigrar, es un paso muy difícil; seguro recuerda los abrazos de la familia y amigos cercanos que fueron a vernos, pocos, la verdad porque huir de tu hogar, de tu país, no es una noticia que dices a los 4 vientos.

Creo que ella no entendió nunca por qué nos íbamos, aunque vio los horrores que vivimos el día que le dispararon a nuestro hijo menor, vio todo el terror de sentirnos intimidados, acusados por no opinar igual a la “mayoría”. Fue una decisión de valientes motivada por lograr un sueño, el cual comienzo con una pesadilla, y donde hay que acostumbrarse de nuevo a todo; pero sobre todo a volver a vivir. ¡Es algo así como si tuvieses que morir para volver a vivir!

Dicen que a donde vamos en familia, siempre llevaremos nuestro hogar, pero de algún modo no es así, solo que nos conectamos con el agradecimiento de poder haber salido de ese horror y llamamos al nuevo país y a la nueva casa “Hogar”, para no sentirnos tan desarraigados, tan deprimidos, tan solos. Esa nostalgia que termina atrapándome entre las paredes de una casa, que todavía le falta mucho para llegar a ser un hogar. Esa nostalgia que me atormenta de recuerdos, y que me lleva continuamente al pasado, impidiendo ver el presente, y solo soportable por la esperanza de un futuro.

Día a día haces comparaciones en todo lo que ves, y esos olores y sabores que son diferentes a estos, y que ni lo notabas, y hasta te aburría… cómo lo añoras ahora; mientras que la nostalgia se va poco a poco apoderando de todo ¡Era feliz y no lo sabía, quiero ser feliz y no sé cómo volver a serlo! Estoy segura de que nuestro hogar, allá solo, entendería nuestra huida aquel diciembre.

Hoy vuelvo hacerme la pregunta de que es un hogar y el mismo dolor traspasa mi pecho “Dicen que quien sabe de dolor, todo lo sabe” Los emigrantes llegan a momentos en su vida donde ya no saben qué hacer con tanto dolor, mirándole todos los días a la cara. Sin embargo, será ese dolor el que los enseñará a vivir de nuevo.

Un día, te das cuenta de que ya el futuro es pasado y te preguntas y preguntas si lo vivido valió la pena, los hijos de tus hijos, esos jóvenes dirán: “Creo que mis abuelos eran de otro país”, ajenos al dolor con el que esos abuelos construyeron los cimientos para que ellos tuvieran un nuevo hogar, un futuro; y lo que nunca se llegarán a preguntar es: ¿Lo que hicieron mis abuelos, mereció la pena? Porque la respuesta ya será muy ajena a ellos. Porque todos habrán construido su hogar, sobre las raíces de aquel hogar olvidado.

What is home? We will surely end up with a varied selection of ideas about “home” depending on whom we ask. For example, a young person would probably link it to the idea of that first home they had with their family. Later in life, she or he might attach it to the home they’ve built with their partner. Alternatively, that same person may have a third concept of home relating to the place where they are and even to the place where they dream of being.

Young people may conceive of the home as a project that is constantly being updated, a road that is built and traveled throughout their lives. But what do young migrants feel when they’ve had to leave their places of birth, their first homes, where everything was known and near to them?

When most of us think about our home, what first pops up in our minds are the people

who live there, the ones we love the most, isn’t it? But what if they were left behind, far away, distant, absent from our lives? For so many migrants, answering this question is a painful act that freezes the blood, fills the eyes with tears, and makes the voice break when trying to summon a response.

What is home? I have asked myself this question after a great deal of silent thought.

Three concepts arise in my mind:

  1. Home is certainly not merely real estate, but should also be a place of comfort and spiritual consolation.
  2. Home is where dreams, and dreamers, are protected and safe.
  3. Home is, at least potentially, a happiness machine.

In thinking about these concepts, my mind wanders to my own experience of home, and to the house that sheltered me for many years, where my children were born, and where step by step we grew up as individuals and as a family. What does my house think of us after so much absence and so much emptiness?

Surely it will remember the last day we were there, our fear of simply being there, not to mention the greater fear of emigration – not merely leaving our house, but leaving our country, our home. It’s an extremely hard step. Surely that house remembers the hugs from relatives and our closest friends who came to see us leave — to be honest, it was only a very few of them, because escaping from your house and home, from your own country, is not exactly news to shout from the rooftops.

I guess our house never understood why we were leaving, even though it saw all the horrors we experienced the day our youngest son was shot, saw the terror of feeling intimidated, and accused because of not having the same opinion as the “majority.” Our brave decision to leave – and it was a brave decision – was motivated by the pursuit of a dream that started as a nightmare, where it was suddenly necessary to start over, to build everything up again. But most of all, it was about living again; it seems you must die to live once more.

It has been said that where we go as a family, the home comes with us. But somehow this simply is not so. It’s just that we connect with a grateful feeling of having been able to get out of that horror, and that is why we call the new country and the new house home. It is something done in order not to feel so uprooted, so depressed, and so lonely. Homesickness traps me in the walls of a house that still has a long way to go to become a home. That homesickness tortures me with memories and always takes me back, not letting me see my present life, and is just bearable because of hope for the future.

Day by day, consciously and unconsciously, I make comparisons in everything I see, in all the smells and flavors that are different, in sensations I didn’t perceive clearly before. So many things that were simply part of life and living – of home – and even things that were boring — how dearly I miss all of them. This is how homesickness seizes everything bit by bit.

I was happy and I did not know it; I want to be happy again and I do not know how to do it. I’m sure our old house, abandoned and empty, could understand our escape that December.

Today I ask myself again the same question of “What is home?”, and a pain goes through my chest. It is said that “one who knows about pain, knows about everything.” There is a moment in an immigrant’s life when they do not know what to do with so much pain, facing it every day; nonetheless, it must be the pain itself that teaches us how to live again.

One day you realize that the future is already past, and you wonder and wonder if what you lived was worth it. One day, your children’s children will say, “I think my grandparents were from another country,” oblivious to the pain with which those grandparents built the foundation for them to have a new home, a future. They will never ask themselves whether what the grandparents did was worth it because the answer will already be very foreign; everyone will have built their home on the roots of that forgotten home.